PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME GURU (SEJARAH) DI ERA SERTIFIKASI*
Oleh Dhanang Respati Puguh
A. PENDAHULUAN
Pada saat ini wacana tentang sertifikasi guru dan berbagai persoalan yang terkait dengannya ramai dibicarakan bukan hanya di kalangan guru itu sendiri tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Penerbitan Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menuntut kualifikasi guru minimal berpendidikan D4/S1. Hal ini membuat para guru yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang itu mulai berlomba mencari gelar sarjana. Bagi kebanyakan guru, keinginan untuk dapat mengikuti sertifikasi menjadi semacam obsesi. Seperti diketahui bahwa sampai awal 2008 tidak satu pun guru di Indonesia yang memegang sertifikat pendidik. Padahal terdapat sekitar 2,7 juta guru di Indonesia.[1] Mereka membayangkan jika lulus dan mendapat sertifikat pendidik, selain menerima tunjangan fungsional, mereka pun dijanjikan menerima tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok. Jadi seringkali terjadi para guru lebih membayangkan konsekuensi finansial dari sertifikasi daripada idealisme yang ada di balik program sertifikasi itu sendiri. Di samping itu, banyak juga yang mengkhawatirkan bahwa ’kesempatan’ itu akan digunakan oleh LPTK (Lembaga Pendidikan dan Teknologi Kejuruan), termasuk universitas-universitas eks IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), melakukan sertifikasi massal dengan pendekatan proyek. Jika hal itu terjadi maka sertifikasi itu tidak akan banyak memberikan manfaat positif bagi peningkatan profesionalisme guru. Ujung-ujungnya, negara dan rakyat yang akan dirugikan karena sudah mengeluarkan ongkos yang besar untuk melaksanakan program itu.
Jika disimak secara mendalam maka landasan filosofis di balik penerapan program sertifikasi guru itu adalah untuk peningkatan profesionalisme guru. UU Guru dan Dosen pada dasarnya ingin memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Persoalan ini bukan hanya dihadapi oleh guru-guru sekolah dasar yang pada masa sebelumnya kebanyakan hanya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) atau pun program diploma pada fakultas keguruan, tetapi juga dihadapi oleh para guru sejarah di tingkat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), dan bahkan mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di sekolah dasar. Dalam hubungan itu perlu dicari jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini. Program itu seharusnya bukan hanya berkutat pada kualifikasi dan sertifikasi guru yang lebih bersifat formalitas, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah setelah guru mendapatkan sertifikat pendidik. Hal ini didasari asumsi bahwa sertifikasi lebih banyak berkaitan dengan persoalan paedagogis daripada persoalan kompetensi dan profesionalisme di bidang substansi ilmu yang akan ditransfer ke peserta didik. Dalam hubungan itu tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang program sertifikasi dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah di era sertifikasi itu.
B. Memahami Latar Belakang Program Sertifikasi Guru
Dalam pandangan masyarakat Jawa tradisional, secara sosio-kultural guru merupakan suatu profesi yang terhormat. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang dalam bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok merupakan kependekan dari digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh). Bertolak dari kerata basa itu, maka guru merupakan pribadi dan profesi yang dihormati dalam masyarakat Jawa tradisional. Mereka menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat karena memiliki keahlian, kemampuan, dan perilaku yang pantas untuk dijadikan teladan. Oleh karena itu, untuk menjadi guru seseorang harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memenuhi gambaran ideal dari masyarakat Jawa tradisional itu.
Pujangga Keraton Surakarta Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati menuliskan delapan kelompok sosial yang pantas menjadi guru, yaitu: bangsaning awirya (orang yang berkedudukan/ jabatan), bangsaning agama (para ulama ahli kitab), bangsaning atapa (para pendeta yang senang bertapa), bangsaning sujana (orang yang memiiki kelebihan dan menjadi orang baik), bangsaning aguna (para cerdik pandai yang memiliki keahlian tertentu), bangsaning prawira (prajurit yang masih memiliki ketenaran dalam olah keprajuritan), bangsaning supunya (orang kaya yang masih memiliki keberuntungan), dan bangsaning susatya (kaum petani yang rajin dan telaten).
Selanjutnya, seorang guru harus memiliki kemampuan dalam delapan hal, yaitu: paramasastra (memiliki kemampuan dalam bidang sastra), paramakawi (memiliki kemampuan dalam bahasa Kawi), mardibasa (mampu berbahasa dengan baik), mardawalagu (mampu membawakan lagu dengan luwes), hawicarita (memiliki kemampuan tutur/bercerita yang baik), mandraguna (memiliki keahlian dan ketrampilan), nawungkrida (cerdas dalam menangkap “tanda-tanda alam dan zaman”, dan sambegana (selalu ingat, tidak pelupa).
Dalam hubungannya dengan murid, guru juga dituntut untuk asih ing murid (asih kepada murid; dianggap sebagai anak dan cucu sendiri), telaten pamulange (telaten dalam memberikan pelajaran), lumuh ing pamrih (tidak memiliki pamrih, kecuali untuk tujuan kemajuan murid), tanggap ing sasmita (mampu menangkap keinginan murid), sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka), ora ambalekaken patakon (mampu memberikan jawaban), ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid), dan ora amburu aleman (tidak mengunggul-unggulkan kepandaiannya).
Untuk menjadi guru yang baik (utama), seorang guru harus mulus ing sarira (tidak cacat), alus ing wicara (halus dalam bertutur kata), jatmika ing solah (bersahaja dalam perilaku), antepan bebudene (memiliki kepribadian yang mantap), paramarta lelabuhane (tulus dalam pengabdian), patitis nalare (cerdas), becik labete (berkelakuan baik), ora duwe pakareman (tidak memiliki kesenangan yang dapat menistakan kedudukannya).[2]
Pandangan masyarakat Jawa tradisional tentang guru seperti disebutkan di atas, tentunya juga terdapat pada kelompok etnik yang lain di Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi guru terrepresentasi dari pandangan masyarakat Jawa tradisional itu. Guru adalah pribadi dan profesi yang terhormat dalam masyarakat Indonesia.
Pada masa sekarang (baca moderen) pandangan sosio-kultural terhadap guru ini mungkin mengalami pergeseran, tetapi tampaknya profesi ini masih dianggap terhormat dan mulia di hadapan masyarakat, karena guru merupakan garda depan dalam pencapaian tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Gurulah yang “menciptakan” orang-orang cerdik pandai yang di antaranya telah menjadi pemimpin bangsa ini.
Oleh karena memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pembangunan nasional bidang pendidikan khususnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak berbeda dengan pada masa tradisional, dengan bahasa dan istilah yang lain pada masa sekarang ini guru dituntut untuk memiliki kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme. Namun ironisnya, guru yang mengemban tugas mulia dan tidak ringan serta secara sosio-kultural memiliki kedudukan yang terhormat, tidak mendapatkan penghargaan yang setara dengan kedudukan dan tugas yang diembannya.
Ketika mutu pendidikan di Indonesia dipertanyakan, guru dianggap menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, karena merekalah yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan. Kualitas guru-guru Indonesia dianggap rendah. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa banyak guru yang tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan. Kondisi ini juga sering dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan guru yang sangat rendah. Bagaimana guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sementara mereka masih bingung harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin tidak dapat dicukupi dengan penghasilan atau gaji yang diterimanya? Berdasarkan realitas itu, kualitas dan kesejahteraan guru menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Dalam hubungan dengan hal tersebut, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia memang telah dilakukan, namun hal itu tampaknya belum memberikan hasil yang signifikan dengan yang diharapkan. Ketika MPR mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, hal ini memberikan secercah harapan bagi dunia pendidikan Indonesia. Dengan pendanaan yang memadai, diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal itu kemudian disahkan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2007 yang antara lain tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (Nomor 16), dan Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan (Nomor 18).[3] Produk-produk hukum itu merupakan langkah awal untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kebijakan pemerintah tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru yang implementasinya sedang dalam proses merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan guru yang diharapkan dapat menempatkan guru sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kerangka berpikir semacam itu perlu dikedepankan agar tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dapat tercapai sesuai dengan harapan.
C. Program Sertifikasi Guru dan Upaya Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme
1. Program Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru adalah proses perolehan sertifikat pendidik bagi guru. Sertifikat pendidik bagi guru berlaku sepanjang yang bersangkutan menjalankan tugas sebagai guru sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Serifikat pendidik ditandai dengan satu nomor registrasi guru yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sertifikasi diperoleh melalui pendidikan profesi yang diakhiri dengan uji kompetensi. Dalam program sertifikasi telah ditentukan kualifikasi pendidikan bagi semua guru di semua tingkatan, yaitu minimal sarjana atau Diploma IV. Dengan kualifikasi itu, diharapkan guru akan memiliki kompetensi yang memadai.
Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Apapun penjelasannya sebagai berikut.
Kompetensi paedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik serta berakhlak mulia.
Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Kompetensi profesional`merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya. Kompetensi ini juga disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar atau sering disebut dengan bidang studi keahlian.
Dalam praktik keempat kompetensi itu merupakan satu kesatuan yang utuh, dan kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup kompetensi lainnya.[4]
Guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan memenuhi persyaratan dapat disertifikasi dengan berpedoman pada ketentuan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku. Sertifikasi guru diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau ditunjuk pemerintah. Setelah disertifikasi guru akan memperoleh sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Dengan memiliki sertifikat pendidik, guru akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum, meliputi: gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Undang-undang Nomor 14/ 2005 memberi angin segar kepada guru, karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan karier dan mendapatkan penghargaan yang sepantasnya. Undang-undang itu akan dapat mengangkat harkat dan martabat guru yang memiliki kedudukan dan peranan strategis dalam pembangunan nasional, yang sebelum adanya undang-undang tersebut tampak kurang mendapatkan perhatian.
Untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak semudah membalikkan telapan tangan, dan memerlukan kerja keras para guru. Sertifikat pendidik akan dapat diperoleh guru apabila mereka benar-benar memiliki kompetensi dan profesionalisme. Bagi para guru yang memiliki kompetensi dan profesionalisme, hal ini mungkin bukan merupakan persoalan yang pelik, melainkan tinggal menunggu waktu. Sebaliknya, para guru yang kurang memiliki kompetensi dan profesionalisme, hal ini dapat menjadi persoalan yang pelik ketika giliran untuk disertifikasi telah tiba. Sehubungan dengan hal itu, sesuatu yang pasti adalah guru harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk disertifikasi, agar kesempatan yang baik itu tidak hilang begitu saja karena tidak adanya persiapan yang memadai. Guru harus siap mental, keilmuan, dan finansial. Dalam kaitan dengan persiapan dalam hal keilmuan, guru perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.
2. Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme Guru (Sejarah)
Untuk kepentingan sertifikasi dan penjaminan mutu pendidikan perlu dilakukan peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah. Hal ini perlu dipahami karena pascasertifikasi guru sejarah harus tetap meningkatkan kemampuan dan profesionalismenya agar mutu pendidikan tetap terjamin. Peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut.
a. Studi Lanjut Program Strata 2
Studi lanjut program Strata 2/Magister merupakan cara pertama yang dapat ditempuh oleh para guru sejarah dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Ada dua jenis program magister yang dapat diikuti, yaitu program magister yang menyelenggarakan program pendidikan ilmu murni dan ilmu pendidikan (pendidikan sejarah). Ada kecenderungan para guru lebih suka untuk mengikuti program ilmu pendidikan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Namun demikian, menurut penulis guru perlu juga menambah pengetahuan tentang ilmu sejarah dengan mengikuti program pendidikan ilmu sejarah. Belum lama ini Program Pascasarjana Universitas Diponegoro telah membuka Program Magister Ilmu Sejarah yang memberikan kesempatan bagi guru untuk mengembangkan diri. Peluang ini perlu disambut dan dimanfaatkan mengingat tidak semua program studi S2 Sejarah dapat menerima para guru. Apabila para guru sejarah memanfaatkan peluang ini, tentunya hal ini akan melengkapi pengetahuan dan kemampuannya dalam bidang kesejarahan, tidak melulu hanya bidang pendidikan saja.
b. Kursus dan Pelatihan
Keikutsertaan dalam kursus dan pelatihan tentang kesejarahan dan kependidikan merupakan cara kedua yang dapat ditempuh oleh guru untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Walaupun tugas utama seorang guru adalah mengajar, namun tidak ada salahnya dalam rangka peningkatan kompetensi dan profesionalismenya juga perlu dilengkapi dengan kemampuan meneliti dan menulis artikel/ buku. Oleh karena itu, guru-guru sejarah perlu juga mengikuti kursus atau pelatihan tentang Teori dan Metodologi Sejarah, penelitian sejarah lokal, dan penulisan artikel ilmiah. Dengan meningkuti pelatihan-pelatihan semacam itu, guru dapat mengetahui dan mempraktikkan penelitian sejarah dan menuliskannya dalam bentuk laporan dan artikel yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik ilmiah maupun administratif yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru.
c. Pemanfaatan Jurnal
Jurnal yang diterbitkan oleh masyarakat profesi atau perguruan tinggi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme. Artikel-artikel di dalam jurnal biasanya berisi tentang perkembangan terkini suatu disiplin tertentu. Dengan demikian, jurnal dapat digunakan untuk memutakhirkan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai guru dapat mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya dalam mentransfer ilmu kepada peserta didik. Selain itu, jurnal-jurnal itu dapat dijadikan media untuk mengomunikasikan tulisan hasil pemikiran dan penelitian guru yang dapat digunakan untuk mendapatkan angka kredit yang dibutuhkan pada saat sertifikasi dan kenaikan pangkat.
Menurut sepengetahuan penulis di Indonesia ada beberapa jurnal yang dapat diakses oleh para guru sejarah, seperti Sejarah yang (Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat), Citra Lekha (Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Tengah), Paramitha (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang), Lembaran Sejarah (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada), dan Historia (Universitas Pendidikan Indonesia). Jurnal Sejarah dan Lembaran Sejarah tampaknya lebih mengkhususkan pada bidang sejarah murni (ilmu sejarah), sedangkan Citra Lekha, Paramitha, dan Humaniora selain sejarah murni (ilmu sejarah) juga memuat artikel-artikel sejarah terapan (pendidikan sejarah).
d. Seminar
Keikutsertaan dalam seminar merupakan alternatif keempat yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah. Tampaknya hal ini merupakan cara yang paling diminati dan sedang menjadi trend para guru dalam era sertifikasi, karena dapat menjadi sarana untuk mendapatkan angka kredit. Melalui seminar tentang sejarah dan pendidikan sejarah, guru mendapatkan informasi-informasi “baru” yang berkaitan dengan ilmu sejarah dan pendidikan sejarah. Cara itu sah dan baik untuk dilakukan. Namun demikian, di masa-masa yang akan datang akan lebih baik apabila guru tidak hanya menjadi peserta seminar saja, tetapi lebih dari itu dapat menjadi penyelenggara dan pemakalah dalam acara seminar. Forum seminar yang diselengarakan oleh dan untuk guru dapat menjadi wahana yang baik untuk mengomunikasikan berbagai hal yang menyangkut bidang ilmu dan profesinya sebagai guru sejarah.
e. Kerja Sama antara Lembaga Profesi (Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah)
Jalinan kerja sama antara dua lembaga profesi (Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah) merupakan cara terakhir yang dapat diupayakan untuk merealisasikan beberapa cara sebelumnya. MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Jawa Tengah dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro beberapa tahun terakhir ini melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat bekerja sama dengan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan seminar dan lokakarya. Langkah-langkah semacam ini perlu dikembangkan dalam suatu jalinan kerja sama atau koordinasi yang lebih kuat. Untuk merealisasikan hal ini, tampaknya perlu didorong terbentuknya Masyarakat Sejarawan Indonesia di tingkat kabupaten (komisariat). Dengan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan MSI Cabang Jawa Tengah, MSI Komisariat dapat menjadi inisiator dan fasilitator penyelenggaraan berbagai kegiatan yang dapat digunakan sebagai wahana untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah, seperti diskusi rutin, seminar, lokakarya, dan kegiatan ilmiah lainnya.
D. Penutup
Dalam bagian ini penulis bermaksud untuk menggarisbawahi persoalan-persoalan mendasar yang perlu untuk dipahami dan direnungkan bersama. Kebijakan pemerintah tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru yang implementasinya sedang dalam proses merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan guru yang diharapkan dapat berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru hendaknya jangan hanya dipandang sebagai suatu formalitas untuk mendapatkan sertifikat pendidik yang berimplikasi pada kenaikan gaji guru. Akan tetapi di dalam sertifikat pendidik itu juga terkandung suatu tanggung jawab bahwa guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Hal ini perlu disadari karena kemampuan hasil sertifikasi merupakan kemampuan guru yang statis. Dengan sertifikasi itu tidak menjadikan guru menjadi pribadi yang paling berkompeten, paling tahu, dan paling benar. Guru dituntut untuk selalu dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Sebagai pendidik, sudah seharusnya guru harus belajar seumur hidup (long life education). Oleh karena itu, guru harus membangun dan mengembangkan dirinya, sehingga dia mampu menjadi pencetus ”teori-teori” baru dalam konteks pembelajarannya untuk peningkatan mutu pendidikan.[5]
Sabtu, 21 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar