Minggu, 29 November 2009

PERANAN AGAMA DALAM BIMBINGAN KONSELING

PERANAN AGAMA DALAM BIMBINGAN KONSELING




“Tiadakah mereka melakukan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka merasa, dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka mendengar? Sungguh, bukanlah matanya yang buta, tetapi yang buta ialah hatinya, yang ada dalam (rongga) dadanya.” (Al Hajj : 46)

Pendidikan agama harus diimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil. Pendidikan tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak yang belum lagi mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang abstrak. Akan tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan, membiasakan mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran agama.
Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama sejak lahir, maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan dalam pembinaan kepribadian.
Dengan demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia Indonesia yang percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

“Dan demi nafs dan yang menciptakannya, maka diilhamkan-Nya kepada jiwa tersebut kefasikan dan ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syam:7-10)


A. Ajaran Islam Yang Berkaitan Dengan Bimbingan Konseling
Bebicara tentang agama terhadap kehidupan manusia memang cukup menarik, khususnya Agama Islam. Hal ini tidak terlepas dari tugas para Nabi yang membimbing dan mengarahkan manusia kearah kebaikan yang hakiki dan juga para Nabi sebagai figure konselor yang sangat mumpuni dalam memecahkan permasalahan (problem solving) yang berkaitan dengan jiwa manusia, agar manusia keluar dari tipu daya syaiton. Seperti tertuang dalam ayat berikut ini :


“Demi masa. Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal kebaikan, saling menasehati supaya mengikuti kebenaran dan saling menasehati supaya mengamalkan kesabaran”. (Al-Ashr :1-3)

Dengan kata lain manusia diharapkan saling memberi bimbingan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas manusia itu sendiri, sekaligus memberi konseling agar tetap sabar dan tawakal dalam menghadapi perjalanan kehidupan yang sebenarnya.

“Berkata orang-orang tiada beriman:”Mengapa tiada diturunkan kepadanya (Muhammad) sebuah mukjizat dari Tuhannya?”
Jawablah :”Allah membiarkan sesat siapa yang Ia kehendaki, dan membimbing orang yang bertobat kepada-Nya.” (Ar-Ra’d :27)

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada jiwa yang menjadi fasik dan adapula jiwa yang menjadi takwa, tergantung kepada manusia yang memilikinya. Ayat ini menunjukan agar manusia selalu mendidik diri sendiri maupun orang lain, dengan kata lain membimbing kearah mana seseorang itu akan menjadi, baik atau buruk. Proses pendidikan dan pengajaran agama tersebut dapat dikatakan sebagai “bimbingan” dalam bahasa psikologi. Nabi Muhammad SAW, menyuruh manusia muslim untuk menyebarkan atau menyampaikan ajaran Agama Islam yang diketahuinya, walaupun satu ayat saja yang dipahaminya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nasihat agama itu ibarat bimbingan (guidance) dalam pandangan psikologi.
Dalam hal ini Islam memberi perhatian pada proses bimbingan,. Allah menunjukan adanya bimbingan, nasihat atau petunjuk bagi manusia yang beriman dalam melakukan perbuatan terpuji, seperti yang tertuang pada ayat-ayat berikut :

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya” (At-Tiin :4-5)

“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan-keturunan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : Betul (Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi). Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Al-A’Raf :172)

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran:104)





“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalann-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An Nahl:125)

Ada beberapa ayat yang lebih khusus menerangkan tugas seseorang dalam pembinaan agama bagi keluarganya.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At Tahrim:6)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (As-Syu’ara:214)

Sedangkan pada beberapa Hadits yang berkaitan dengan arah perkembangan anak diantaranya :

“Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Baihaqi)

“Seseorang supaya mendidik budi pekerti yang baik atas anaknya. Hal itu lebih baik daripada bersedekah satu sha” (HR At Turmudzi)

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekertinya” (HR Ibnu Majah)

Selanjutnya yang berkaitan dengan perkembangan konseling, khusus konseling sekolah adalah adanya kebutuhan nyata dan kebutuhan potensial para siswa pada beberapa jenjang pendidikan, yaitu meliputi beberapa tipe konseling berikut ini :
1. Konseling krisis, dalam menghadapi saat-saat krisis yang dapat terjadi misalnya akibat kegagalan sekolah, kegagalan pergaulan atau pacaran, dan penyalahgunaan zat adiktif.
2. Konseling fasilitatif, dalam menghadapi kesulitan dan kemungkinan kesulitan pemahaman diri dan lingkungan untuk arah diri dan pengambilan keputusan dalam karir, akademik, dan pergaulan social.
3. Konseling preventif, dalam mencegah sedapat mungkin kesulitan yang dapat dihadapi dalam pergaulan atau sexual, pilihan karir, dan sebagainya.
4. Konseling developmental, dalam menopang kelancaran perkembangan individual siswa seperti pengembangan kemandirian, percaya diri, citra diri, perkembangan karir dan perkembangan akademik.



Dengan demikian, kebutuhan akan hubungan bantuan (helping relationship), terutama konseling, pada dasarnya timbul dari diri dan luar individu yang melahirkan seperangkat pertanyaan mengenai apakah yang harus diperbuat individu.
Dalam konsep Islam, pengembangan diri merupakan sikap dan perilaku yang sangat disitimewakan. Manusia yang mampu mengoptimalkan potensi dirinya, sehingga menjadi pakar dalam disiplin ilmu pengetahuan dijadikan kedudukan yang mulia disisi Allah SWT.
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Mujadalah 58:11)


B. Pendekatan Islami Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling
Pendekatan Islami dapat dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dalam pelaksanaan bimbingan konseling yang meliputi pribadi, sikap, kecerdasan, perasaan, dan seterusnya yang berkaitan dengan klien dan konselor.
Bagi pribadi muslim yang berpijak pada pondasi tauhid pastilah seorang pekerja keras, namun nilai bekerja baginya adalah untuk melaksanakan tugas suci yang telah Allah berikan dan percayakan kepadanya, ini baginya adalah ibadah. Sehingga pada pelaksanaan bimbingan konseling, pribadi muslim tersebut memiliki ketangguhan pribadi tentunya dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Selalu memiliki Prinsip Landasan dan Prinsip Dasar yaitu hanya beriman kepada Allah SWT.
2. Memiliki Prinsip Kepercayaan, yaitu beriman kepada malaikat.
3. Memiliki Prinsip Kepemimpina, yaitu beriman kepada Nabi dan Rasulnya.
4. Selalu memiliki Prinsip Pembelajaran, yaitu berprinsip kepada Al-Qur’an Al Karim.
5. Memiliki Prinsip Masa Depan, yaitu beriman kepada “Hari Kemudian”
6. Memiliki Prinsip Keteraturan, yaitu beriman kepada “Ketentuan Allah”
Jika konselor memiliki prinsip tersebut (Rukun Iman) maka pelaksanaan bimbingan dan konseling tentu akan mengarahkan klien kearah kebenaran, selanjutnya dalam pelaksanaannya pembimbing dan konselor perlu memiliki tiga langkah untuk menuju pada kesuksesan bimbingan dan konseling. Pertama, memiliki mission statement yang jelas yaitu “Dua Kalimat Syahadat”, kedua memiliki sebuah metode pembangunan karakter sekaligus symbol kehidupan yaitu “Shalat lima waktu”, dan ketiga, memiliki kemampuan pengendalian diri yang dilatih dan disimbolkan dengan “puasa”. Prinsip dan langkag tersebut penting bagi pembimbing dan konselor muslim, karena akan menghasilkan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sangat tinggi (Akhlakul Karimah). Dengan mengamalkan hal tersebut akan memberi keyakinan dan kepercayaan bagi counselee yang melakukan bimbingan dan konseling.

“Dan hendaklah ada diantara kamu suatu umat yang menyeru berbuat kebaikan, dan menyuruh orang melakukan yang benar, serta melarang yang mungkar. Merekalah orang yang mencapai kejayaan.” (Ali Imran : 104)

Pada ayat tersebut memberi kejelasan bahwa pelaksanaan bimbiungan dan konseling akan mengarahkan seseorang pada kesuksesan dan kebijakan, dan bagi konselor sendiri akan mendapat nilai tersendiri dari Allah SWT. Para pembimbing dan konselor perlu mengetahui pandangan filsafat Ketuhanan (Theologie), manusia disebut “homo divians” yaitu mahluk yang berke-Tuhan-an, bebarti manusia dalam sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki kepercayaan terhadap Tuhan atau hal-hal gaib yang menggetarkan hatinya atau hal-hal gaib yang mempunyai daya tarik kepadanya (mysterium trimendum atau mysterium fascinans). Hal demikian oleh agama-agama besar di dunia dipertegas bahwa manusia adalah mahluk yang disebut mahluk beragama (homo religious), oleh karena itu memiliki naluri agama (instink religious), sesuai dengan firman Allah SWT :

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah (naluri) Allah yang telah menciptakan manusia menurut naluri itu, tidak ada perubahan pada naluri dari Allah itu. Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Ar-Rum : 30)

Pada diri counselee juga ada benih-benih agama, sehingga untuk mengatasi masalah dapat dikaitkan dengan agama, dengan demikian pembimbing dan konselor dapat mengarahkan individu (counselee) kearah agamaya, dalam hal ini Agama Islam.
Dengan berkembangnya ilmu jiwa (psikologi), diketahui bahwa manusia memerlukan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan muncullah berbagai bentuk pelayanan kejiwaaan, dari yang paling ringan (bimbingan), yang sedang (konseling) dan yang paling berat (terapi), sehingga berkembanglah psikologi yang memiliki cabang-cabang terapan, diantaranya bimbingan, konseling dan terapi.
Selanjutnya ditemukan bahwa agama, terutama Agama Islam mempunyai fungsi-fungsi pelayanan bimbingan, konselingdan terapi dimana filosopinya didasarkan atas ayat-ayat Alquran dan Sunnah Rosul. Proses pelaksanaan bimbingan, konseling dan psikoterapi dalam Islam, tentunya membawa kepada peningkatan iman, ibadah dan jalan hidup yang di ridai Allah SWT.



Daftar Pustaka

Abdul Rahman Saleh dan Muhbib Abdul Wahab. 2004. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Kencana.
Andi Mappiare AT. 2002. Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Ary Ginanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual– ESQ.Jakarta : Penerbit Arga.
Sahilun A. Nasir. 2002. Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja. Jakarta :Kalam Mulia.
Zakiah Daradjat. 2001. Kesehatan Mental. Jakarta : Toko Gunung Agung.
Zakiah Daradjat. 2002. Psikoterapi Islami. Jakarta : Bulan Bintang.

Sabtu, 21 November 2009

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU(SEJARAH) DI ERA SERTIFIKASI

PENINGKATAN KOMPETENSI DAN PROFESIONALISME GURU (SEJARAH) DI ERA SERTIFIKASI*
Oleh Dhanang Respati Puguh
A. PENDAHULUAN
Pada saat ini wacana tentang sertifikasi guru dan berbagai persoalan yang terkait dengannya ramai dibicarakan bukan hanya di kalangan guru itu sendiri tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Penerbitan Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menuntut kualifikasi guru minimal berpendidikan D4/S1. Hal ini membuat para guru yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang itu mulai berlomba mencari gelar sarjana. Bagi kebanyakan guru, keinginan untuk dapat mengikuti sertifikasi menjadi semacam obsesi. Seperti diketahui bahwa sampai awal 2008 tidak satu pun guru di Indonesia yang memegang sertifikat pendidik. Padahal terdapat sekitar 2,7 juta guru di Indonesia.[1] Mereka membayangkan jika lulus dan mendapat sertifikat pendidik, selain menerima tunjangan fungsional, mereka pun dijanjikan menerima tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok. Jadi seringkali terjadi para guru lebih membayangkan konsekuensi finansial dari sertifikasi daripada idealisme yang ada di balik program sertifikasi itu sendiri. Di samping itu, banyak juga yang mengkhawatirkan bahwa ’kesempatan’ itu akan digunakan oleh LPTK (Lembaga Pendidikan dan Teknologi Kejuruan), termasuk universitas-universitas eks IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan), melakukan sertifikasi massal dengan pendekatan proyek. Jika hal itu terjadi maka sertifikasi itu tidak akan banyak memberikan manfaat positif bagi peningkatan profesionalisme guru. Ujung-ujungnya, negara dan rakyat yang akan dirugikan karena sudah mengeluarkan ongkos yang besar untuk melaksanakan program itu.

Jika disimak secara mendalam maka landasan filosofis di balik penerapan program sertifikasi guru itu adalah untuk peningkatan profesionalisme guru. UU Guru dan Dosen pada dasarnya ingin memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Persoalan ini bukan hanya dihadapi oleh guru-guru sekolah dasar yang pada masa sebelumnya kebanyakan hanya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) atau pun program diploma pada fakultas keguruan, tetapi juga dihadapi oleh para guru sejarah di tingkat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), dan bahkan mata pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di sekolah dasar. Dalam hubungan itu perlu dicari jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini. Program itu seharusnya bukan hanya berkutat pada kualifikasi dan sertifikasi guru yang lebih bersifat formalitas, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah setelah guru mendapatkan sertifikat pendidik. Hal ini didasari asumsi bahwa sertifikasi lebih banyak berkaitan dengan persoalan paedagogis daripada persoalan kompetensi dan profesionalisme di bidang substansi ilmu yang akan ditransfer ke peserta didik. Dalam hubungan itu tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang program sertifikasi dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah di era sertifikasi itu.

B. Memahami Latar Belakang Program Sertifikasi Guru
Dalam pandangan masyarakat Jawa tradisional, secara sosio-kultural guru merupakan suatu profesi yang terhormat. Hal ini terungkap dari kata “guru” yang dalam bahasa Jawa menurut kerata basa atau jarwa dhosok merupakan kependekan dari digugu lan ditiru (dianut dan dicontoh). Bertolak dari kerata basa itu, maka guru merupakan pribadi dan profesi yang dihormati dalam masyarakat Jawa tradisional. Mereka menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat karena memiliki keahlian, kemampuan, dan perilaku yang pantas untuk dijadikan teladan. Oleh karena itu, untuk menjadi guru seseorang harus memenuhi sejumlah kriteria untuk memenuhi gambaran ideal dari masyarakat Jawa tradisional itu.
Pujangga Keraton Surakarta Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati menuliskan delapan kelompok sosial yang pantas menjadi guru, yaitu: bangsaning awirya (orang yang berkedudukan/ jabatan), bangsaning agama (para ulama ahli kitab), bangsaning atapa (para pendeta yang senang bertapa), bangsaning sujana (orang yang memiiki kelebihan dan menjadi orang baik), bangsaning aguna (para cerdik pandai yang memiliki keahlian tertentu), bangsaning prawira (prajurit yang masih memiliki ketenaran dalam olah keprajuritan), bangsaning supunya (orang kaya yang masih memiliki keberuntungan), dan bangsaning susatya (kaum petani yang rajin dan telaten).
Selanjutnya, seorang guru harus memiliki kemampuan dalam delapan hal, yaitu: paramasastra (memiliki kemampuan dalam bidang sastra), paramakawi (memiliki kemampuan dalam bahasa Kawi), mardibasa (mampu berbahasa dengan baik), mardawalagu (mampu membawakan lagu dengan luwes), hawicarita (memiliki kemampuan tutur/bercerita yang baik), mandraguna (memiliki keahlian dan ketrampilan), nawungkrida (cerdas dalam menangkap “tanda-tanda alam dan zaman”, dan sambegana (selalu ingat, tidak pelupa).
Dalam hubungannya dengan murid, guru juga dituntut untuk asih ing murid (asih kepada murid; dianggap sebagai anak dan cucu sendiri), telaten pamulange (telaten dalam memberikan pelajaran), lumuh ing pamrih (tidak memiliki pamrih, kecuali untuk tujuan kemajuan murid), tanggap ing sasmita (mampu menangkap keinginan murid), sepen ing panggrayangan (tidak membuat murid berprasangka), ora ambalekaken patakon (mampu memberikan jawaban), ora ngendak kagunan (tidak meremehkan murid), dan ora amburu aleman (tidak mengunggul-unggulkan kepandaiannya).
Untuk menjadi guru yang baik (utama), seorang guru harus mulus ing sarira (tidak cacat), alus ing wicara (halus dalam bertutur kata), jatmika ing solah (bersahaja dalam perilaku), antepan bebudene (memiliki kepribadian yang mantap), paramarta lelabuhane (tulus dalam pengabdian), patitis nalare (cerdas), becik labete (berkelakuan baik), ora duwe pakareman (tidak memiliki kesenangan yang dapat menistakan kedudukannya).[2]
Pandangan masyarakat Jawa tradisional tentang guru seperti disebutkan di atas, tentunya juga terdapat pada kelompok etnik yang lain di Indonesia. Dengan kata lain, sebenarnya pandangan masyarakat Indonesia terhadap profesi guru terrepresentasi dari pandangan masyarakat Jawa tradisional itu. Guru adalah pribadi dan profesi yang terhormat dalam masyarakat Indonesia.
Pada masa sekarang (baca moderen) pandangan sosio-kultural terhadap guru ini mungkin mengalami pergeseran, tetapi tampaknya profesi ini masih dianggap terhormat dan mulia di hadapan masyarakat, karena guru merupakan garda depan dalam pencapaian tujuan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Gurulah yang “menciptakan” orang-orang cerdik pandai yang di antaranya telah menjadi pemimpin bangsa ini.
Oleh karena memiliki kedudukan dan peranan yang strategis dalam pembangunan nasional bidang pendidikan khususnya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak berbeda dengan pada masa tradisional, dengan bahasa dan istilah yang lain pada masa sekarang ini guru dituntut untuk memiliki kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme. Namun ironisnya, guru yang mengemban tugas mulia dan tidak ringan serta secara sosio-kultural memiliki kedudukan yang terhormat, tidak mendapatkan penghargaan yang setara dengan kedudukan dan tugas yang diembannya.
Ketika mutu pendidikan di Indonesia dipertanyakan, guru dianggap menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, karena merekalah yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan. Kualitas guru-guru Indonesia dianggap rendah. Hal ini didasarkan pada realitas bahwa banyak guru yang tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan. Kondisi ini juga sering dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan guru yang sangat rendah. Bagaimana guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sementara mereka masih bingung harus memenuhi kebutuhan hidupnya yang semakin tidak dapat dicukupi dengan penghasilan atau gaji yang diterimanya? Berdasarkan realitas itu, kualitas dan kesejahteraan guru menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Dalam hubungan dengan hal tersebut, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia memang telah dilakukan, namun hal itu tampaknya belum memberikan hasil yang signifikan dengan yang diharapkan. Ketika MPR mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, hal ini memberikan secercah harapan bagi dunia pendidikan Indonesia. Dengan pendanaan yang memadai, diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Untuk merealisasikan hal itu kemudian disahkan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 yang diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2007 yang antara lain tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru (Nomor 16), dan Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan (Nomor 18).[3] Produk-produk hukum itu merupakan langkah awal untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kebijakan pemerintah tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru yang implementasinya sedang dalam proses merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan guru yang diharapkan dapat menempatkan guru sesuai dengan harkat dan martabatnya, serta akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kerangka berpikir semacam itu perlu dikedepankan agar tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dapat tercapai sesuai dengan harapan.

C. Program Sertifikasi Guru dan Upaya Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme
1. Program Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru adalah proses perolehan sertifikat pendidik bagi guru. Sertifikat pendidik bagi guru berlaku sepanjang yang bersangkutan menjalankan tugas sebagai guru sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Serifikat pendidik ditandai dengan satu nomor registrasi guru yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sertifikasi diperoleh melalui pendidikan profesi yang diakhiri dengan uji kompetensi. Dalam program sertifikasi telah ditentukan kualifikasi pendidikan bagi semua guru di semua tingkatan, yaitu minimal sarjana atau Diploma IV. Dengan kualifikasi itu, diharapkan guru akan memiliki kompetensi yang memadai.
Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Apapun penjelasannya sebagai berikut.
Kompetensi paedagogik meliputi pemahaman guru terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik serta berakhlak mulia.
Kompetensi Sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga pendidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Kompetensi profesional`merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya. Kompetensi ini juga disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar atau sering disebut dengan bidang studi keahlian.
Dalam praktik keempat kompetensi itu merupakan satu kesatuan yang utuh, dan kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup kompetensi lainnya.[4]
Guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan memenuhi persyaratan dapat disertifikasi dengan berpedoman pada ketentuan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku. Sertifikasi guru diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau ditunjuk pemerintah. Setelah disertifikasi guru akan memperoleh sertifikat pendidik, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Dengan memiliki sertifikat pendidik, guru akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum, meliputi: gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sementara guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Undang-undang Nomor 14/ 2005 memberi angin segar kepada guru, karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan karier dan mendapatkan penghargaan yang sepantasnya. Undang-undang itu akan dapat mengangkat harkat dan martabat guru yang memiliki kedudukan dan peranan strategis dalam pembangunan nasional, yang sebelum adanya undang-undang tersebut tampak kurang mendapatkan perhatian.
Untuk memperoleh sertifikat pendidik tidak semudah membalikkan telapan tangan, dan memerlukan kerja keras para guru. Sertifikat pendidik akan dapat diperoleh guru apabila mereka benar-benar memiliki kompetensi dan profesionalisme. Bagi para guru yang memiliki kompetensi dan profesionalisme, hal ini mungkin bukan merupakan persoalan yang pelik, melainkan tinggal menunggu waktu. Sebaliknya, para guru yang kurang memiliki kompetensi dan profesionalisme, hal ini dapat menjadi persoalan yang pelik ketika giliran untuk disertifikasi telah tiba. Sehubungan dengan hal itu, sesuatu yang pasti adalah guru harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk disertifikasi, agar kesempatan yang baik itu tidak hilang begitu saja karena tidak adanya persiapan yang memadai. Guru harus siap mental, keilmuan, dan finansial. Dalam kaitan dengan persiapan dalam hal keilmuan, guru perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya.

2. Peningkatan Kompetensi dan Profesionalisme Guru (Sejarah)
Untuk kepentingan sertifikasi dan penjaminan mutu pendidikan perlu dilakukan peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah. Hal ini perlu dipahami karena pascasertifikasi guru sejarah harus tetap meningkatkan kemampuan dan profesionalismenya agar mutu pendidikan tetap terjamin. Peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain sebagai berikut.

a. Studi Lanjut Program Strata 2
Studi lanjut program Strata 2/Magister merupakan cara pertama yang dapat ditempuh oleh para guru sejarah dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Ada dua jenis program magister yang dapat diikuti, yaitu program magister yang menyelenggarakan program pendidikan ilmu murni dan ilmu pendidikan (pendidikan sejarah). Ada kecenderungan para guru lebih suka untuk mengikuti program ilmu pendidikan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Namun demikian, menurut penulis guru perlu juga menambah pengetahuan tentang ilmu sejarah dengan mengikuti program pendidikan ilmu sejarah. Belum lama ini Program Pascasarjana Universitas Diponegoro telah membuka Program Magister Ilmu Sejarah yang memberikan kesempatan bagi guru untuk mengembangkan diri. Peluang ini perlu disambut dan dimanfaatkan mengingat tidak semua program studi S2 Sejarah dapat menerima para guru. Apabila para guru sejarah memanfaatkan peluang ini, tentunya hal ini akan melengkapi pengetahuan dan kemampuannya dalam bidang kesejarahan, tidak melulu hanya bidang pendidikan saja.

b. Kursus dan Pelatihan
Keikutsertaan dalam kursus dan pelatihan tentang kesejarahan dan kependidikan merupakan cara kedua yang dapat ditempuh oleh guru untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Walaupun tugas utama seorang guru adalah mengajar, namun tidak ada salahnya dalam rangka peningkatan kompetensi dan profesionalismenya juga perlu dilengkapi dengan kemampuan meneliti dan menulis artikel/ buku. Oleh karena itu, guru-guru sejarah perlu juga mengikuti kursus atau pelatihan tentang Teori dan Metodologi Sejarah, penelitian sejarah lokal, dan penulisan artikel ilmiah. Dengan meningkuti pelatihan-pelatihan semacam itu, guru dapat mengetahui dan mempraktikkan penelitian sejarah dan menuliskannya dalam bentuk laporan dan artikel yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik ilmiah maupun administratif yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru.

c. Pemanfaatan Jurnal
Jurnal yang diterbitkan oleh masyarakat profesi atau perguruan tinggi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme. Artikel-artikel di dalam jurnal biasanya berisi tentang perkembangan terkini suatu disiplin tertentu. Dengan demikian, jurnal dapat digunakan untuk memutakhirkan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai guru dapat mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya dalam mentransfer ilmu kepada peserta didik. Selain itu, jurnal-jurnal itu dapat dijadikan media untuk mengomunikasikan tulisan hasil pemikiran dan penelitian guru yang dapat digunakan untuk mendapatkan angka kredit yang dibutuhkan pada saat sertifikasi dan kenaikan pangkat.
Menurut sepengetahuan penulis di Indonesia ada beberapa jurnal yang dapat diakses oleh para guru sejarah, seperti Sejarah yang (Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat), Citra Lekha (Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Tengah), Paramitha (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang), Lembaran Sejarah (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada), dan Historia (Universitas Pendidikan Indonesia). Jurnal Sejarah dan Lembaran Sejarah tampaknya lebih mengkhususkan pada bidang sejarah murni (ilmu sejarah), sedangkan Citra Lekha, Paramitha, dan Humaniora selain sejarah murni (ilmu sejarah) juga memuat artikel-artikel sejarah terapan (pendidikan sejarah).

d. Seminar
Keikutsertaan dalam seminar merupakan alternatif keempat yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah. Tampaknya hal ini merupakan cara yang paling diminati dan sedang menjadi trend para guru dalam era sertifikasi, karena dapat menjadi sarana untuk mendapatkan angka kredit. Melalui seminar tentang sejarah dan pendidikan sejarah, guru mendapatkan informasi-informasi “baru” yang berkaitan dengan ilmu sejarah dan pendidikan sejarah. Cara itu sah dan baik untuk dilakukan. Namun demikian, di masa-masa yang akan datang akan lebih baik apabila guru tidak hanya menjadi peserta seminar saja, tetapi lebih dari itu dapat menjadi penyelenggara dan pemakalah dalam acara seminar. Forum seminar yang diselengarakan oleh dan untuk guru dapat menjadi wahana yang baik untuk mengomunikasikan berbagai hal yang menyangkut bidang ilmu dan profesinya sebagai guru sejarah.

e. Kerja Sama antara Lembaga Profesi (Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah)
Jalinan kerja sama antara dua lembaga profesi (Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah) merupakan cara terakhir yang dapat diupayakan untuk merealisasikan beberapa cara sebelumnya. MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Jawa Tengah dan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro beberapa tahun terakhir ini melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat bekerja sama dengan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Sejarah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan seminar dan lokakarya. Langkah-langkah semacam ini perlu dikembangkan dalam suatu jalinan kerja sama atau koordinasi yang lebih kuat. Untuk merealisasikan hal ini, tampaknya perlu didorong terbentuknya Masyarakat Sejarawan Indonesia di tingkat kabupaten (komisariat). Dengan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan MSI Cabang Jawa Tengah, MSI Komisariat dapat menjadi inisiator dan fasilitator penyelenggaraan berbagai kegiatan yang dapat digunakan sebagai wahana untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru sejarah, seperti diskusi rutin, seminar, lokakarya, dan kegiatan ilmiah lainnya.


D. Penutup
Dalam bagian ini penulis bermaksud untuk menggarisbawahi persoalan-persoalan mendasar yang perlu untuk dipahami dan direnungkan bersama. Kebijakan pemerintah tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru yang implementasinya sedang dalam proses merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas, kemampuan, dan kesejahteraan guru yang diharapkan dapat berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Sertifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru hendaknya jangan hanya dipandang sebagai suatu formalitas untuk mendapatkan sertifikat pendidik yang berimplikasi pada kenaikan gaji guru. Akan tetapi di dalam sertifikat pendidik itu juga terkandung suatu tanggung jawab bahwa guru harus selalu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Hal ini perlu disadari karena kemampuan hasil sertifikasi merupakan kemampuan guru yang statis. Dengan sertifikasi itu tidak menjadikan guru menjadi pribadi yang paling berkompeten, paling tahu, dan paling benar. Guru dituntut untuk selalu dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Sebagai pendidik, sudah seharusnya guru harus belajar seumur hidup (long life education). Oleh karena itu, guru harus membangun dan mengembangkan dirinya, sehingga dia mampu menjadi pencetus ”teori-teori” baru dalam konteks pembelajarannya untuk peningkatan mutu pendidikan.[5]

kompetensi guru dan peran kepela sekolah

KOMPETENSI GURU DAN PERAN KEPALA SEKOLAH
Oleh : Akhmad Sudrajat*))
Abstrak : Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang amat penting. Kompetensi guru tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan melalui optimalisasi peran kepala stsekolah, sebagai : educator, manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan.
Kata kunci : kompetensi guru, peran kepala sekolah
A. Pendahuluan
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah khususnya melalui Depdiknas terus menerus berupaya melakukan berbagai perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan kita. Salah satu upaya yang sudah dan sedang dilakukan, yaitu berkaitan dengan faktor guru. Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru.
Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru.
Tulisan ini akan memaparkan tentang apa itu kompetensi guru dan bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan kompetensi guru dilihat dari peran kepala sekolah. Dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi para guru maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan pendidikan.
B. Hakikat Kompetensi Guru
Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”
Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.
Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :
1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.
2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.
3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:
1. Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.
2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).
3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.
4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.
5. Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.
Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.
Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
C. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam lagi tentang isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi, –sebagaimana disampaikan oleh para ahli maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah-, kiranya untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa “ kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan;
Merujuk kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan oleh Depdiknas di atas, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi guru.
1. Kepala sekolah sebagai educator (pendidik)
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai manajer
Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, –seperti : MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya–, atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti : kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.
3. Kepala sekolah sebagai administrator
Khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru tentunya akan mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi para gurunya. Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.
4. Kepala sekolah sebagai supervisor
Untuk mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, secara berkala kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi, yang dapat dilakukan melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung, terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (E. Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, dapat diketahui kelemahan sekaligus keunggulan guru dalam melaksanakan pembelajaran, — tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan–, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada sekaligus mempertahankan keunggulannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Jones dkk. sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa “ menghadapi kurikulum yang berisi perubahan-perubahan yang cukup besar dalam tujuan, isi, metode dan evaluasi pengajarannya, sudah sewajarnya kalau para guru mengharapkan saran dan bimbingan dari kepala sekolah mereka”. Dari ungkapan ini, mengandung makna bahwa kepala sekolah harus betul-betul menguasai tentang kurikulum sekolah. Mustahil seorang kepala sekolah dapat memberikan saran dan bimbingan kepada guru, sementara dia sendiri tidak menguasainya dengan baik
5. Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin)
Gaya kepemimpinan kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan kompetensi guru ? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Kendati demikian menarik untuk dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa ethos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan (E. Mulyasa, 2003).
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja
Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan (modifikasi dari pemikiran E. Mulayasa tentang Kepala Sekolah sebagai Motivator, E. Mulyasa, 2003)
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi gurunya.
Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kompetensi guru merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..
2. Kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
3. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya.
4. Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan.
5. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Kamis, 29 Oktober 2009

SERTIFIKASI GURU

Undang - Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S1) atau diploma empat (DIV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang - undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Lebih lanjut Undang - Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru tersebut mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Diharapkan agar guru sebagai tenaga profesional dapat berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran dan berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan terlaksananya sertifikasi guru, diharapkan akan berdampak pada meningkatnya mutu pembelajaran dan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Pelaksanaan sertifikasi guru dimulai pada tahun 2007 setelah diterbitkannya Peraturan Mendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Setifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Tahun 2009 ini merupakan tahun ketiga pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan. Landasan yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan sertifikasi guru tahun 2009 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Oleh karena itu, ada beberapa perubahan mendasar dalam proses penetapan peserta sertifikasi guru tahun 2009. Jumlah sasaran peserta sertifikasi guru setiap tahunnya ditentukan oleh Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.

Tahapan pelaksanaan sertifikasi guru dimulai dengan pembentukan panitia pelaksanaan sertifikasi guru di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemberian kuota kepada dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, dan penetapan peserta oleh dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Agar seluruh instansi yaitu dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, LPMP dan unsur terkait dengan pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai pemahaman yang sama tentang kriteria dan proses penetapan peserta sertifikasi guru, maka perlu disusun Pedoman Penetapan Peserta Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

Dasar Hukum

Dasar hukum yang digunakan sebagai acuan pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru.
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan.
7. Keputusan Mendiknas tentang Penetapan Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Guru Dalam Jabatan.

Persyaratan Peserta

A. Persyaratan Umum

  1. Guru yang masih aktif mengajar di sekolah di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional yaitu guru yang megajar di sekolah umum, kecuali guru agama. Sertifikasi guru bagi guru Agama (termasuk guru yang memiliki NIP 13) dan semua guru yang mengajar di madrasah (termasuk guru bidang studi umum yang memiliki NIP 13) diselengarakan oleh Departemen Agama dengan kuota dan aturan penetapan peserta dari Departemen Agama.
  2. Guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang belum memiliki sertifikat pendidik. Pengawas satuan pendidikan yang bukan berasal dari guru dapat menikuti sertifikasi guru apabila yang bersangkutan diangkat sebagai pengawas sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, 1 Desember 2008.
  3. Guru bukan PNS harus memiliki SK sebagai guru tetap dari penyelengara pendidikan, sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK dari DInas Pendidikan Provinsi/kabupaten/Kota.
  4. Belum memasuki usia 60 tahun.
  5. Memiliki atau dalam proses pengajuan nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK)

B. Peryaratan Khusus untuk Uji Kompetensi melalui Penilaian Portofolio.

  1. Memiliki kualifikasi akaemik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang memiliki izin penyelenggaraan.
  2. Memiliki masa kerja sebagai guru (PNS atau bukan PNS) minimal 4 tahun pada suatu satuan pendidikan pada saat Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terbit yang bersangkutan sudah menjadi guru.
  3. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang belum memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV apabila sudah:

a. Mencapai usia 50 tahun dan memiliki pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru

b. memiliki golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a

C. Persyaratan Khusus untuk GUru yang diberi sertifikat secara langsung .

  1. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas stuan pendidikan yang memiliki kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi teraktreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnnya IV/b atau yangmemenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b.
  2. Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki golongan serendah-rendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit komulatif setara dengan golongan IV/c.

Kreteria Penetapan Urutan Peserta

Rangking peserta sertifikasi ditetapkan dengan urutan kreteria sebagai berikut :

  1. Masa Kerja sebagai guru
  2. Usia
  3. Pangkat/golongan
  4. Beban mengajar
  5. Tugas tambahan
  6. Prestasi kerja

SANKSI


PP 74 tahun 2008 Pasal 63, ayat 5 :
Guru yang terbukti memperoleh Kualifikasi Akademik dan/atau Sertifikat Pendidik dengan cara melawan hukum diiberhentikan sebagai Guru dan wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan penghargaan sebagai Guru yang pernah diterima.

POLA SERTIFIKASI


Sertifikasi bagi guru dalam jabatan untuk memperoleh sertifikat pendidik dilaksanakan melalui pola:

  1. Uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio, dan
  2. Pemberian sertifikat pendidik secara langsung

Bagi guru peserta uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio menyerahkan portofolio sesuai komponen sebagai berikut :

  1. Kualifikasi akademik
  2. Pendidikan dan pelatihan
  3. Pengalaman mengajar
  4. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
  5. Penilaian dari atasan dan pengawas
  6. Prestasi akademik
  7. Karya pengembangan profesi
  8. Keikutsertaan dalam forum ilmiah
  9. Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial
  10. Penghargaan yang relevan dengan pendidikan

Bagi guru peserta pemberian sertifikat pendidik secara langsung menyerahkan dokumen sebagai berikut:


1. Bagi guru berkualifikasi S-2/S-3:

a. Foto kopi ijazah S1, ijazah S2/S3 dan transkrip akademik
b. Foto kopi i surat ijin belajar
c. Foto kopi i SK pangkat/gol terakhir
d. Foto kopi i SK mengajar
e. Rekomendari dari dinas pendidikan setempat


2. Bagi guru dengan pangkat/golongan IV/c :

a. Foto kopi ijazah S1, ijazah S2/S3 dan transkrip
b. Foto kopi SK Pangkat/Gol terakhir
c. Foto kopi SKmengajar
d. Rekomendasi dari dinas pendidikan setempat

Catatan: semua foto kopi dilegalisir sesuai ketentuan.

MEKANISME PENYELENGGARAAN


a. Uji Kompetensi dalam Bentuk Penilaian Portofolio.

  1. Guru dalam jabatan peserta sertifikasi berkualifikasi S-1/D-IV, menyusun portofolio dengan mengacu Pedoman penyusunan Portofolio
  2. Portofolio yang telah disusun kemudian diserahkan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota atau dinas pendidikan provinsi (peserta guru SLB) untuk diteruskan kepada Rayon LPTK Penyelenggara Sertifikasi Guru untuk dinilai.
  3. Penilaian portofolio dilakukan oleh 2 (dua) asesor yang relevan dan memiliki Nomor Induk Asesor (NIA) dengan mengacu pada rubrik penilaian portofolio (Buku 3).
  4. Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi dapat mencapai angka minimal kelulusan, maka dinyatakan lulus dan memperoleh sertifikat pendidik.
  5. Apabila skor hasil penilaian portofolio telah mencapai batas kelulusan, namun secara administrasi masih ada kekurangan maka peserta harus melengkapi kekurangan tersebut (melengkapi administrasi atau MA).
  6. Apabila hasil penilaian portofolio peserta sertifikasi belum mencapai angka minimal kelulusan, maka Rayon LPTK menetapkan alternatif sebagai berikut.
    • Melakukan kegiatan yang berkaitan dengan profesi pendidik untuk melengkapi kekurangan portofolio (melengkapi substansi atau MS) bagi peserta yang memperoleh skor 841 s/d 849. Apabila dalam kurun waktu satu bulan peserta tidak mampu melengkapi akan diikutsertakan dalam Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Mengikuti PLPG yang mencakup empat kompetensi guru dan diakhiri dengan uji kompetensi. Penyelenggaraan PLPG dilakukan berdasarkan proses baku sebagaimana tertuang dalam Rambu-Rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (Buku 5/Buku 8). Peserta yang lulus uji kompetensi memperoleh Sertifikat Pendidik. Jika peserta belum lulus, diberi kesempatan ujian ulang dua kali (untuk materi yang belum lulus). Peserta yang tidak lulus pada ujian ulang kedua dikembalikan ke dinas.
    • pendidikan kabupaten/kota atau dinas pendidikan provinsi untuk dilakukan pembinaan/peningkatan kompetensi.


b. Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung

  1. Guru yang berkualifikasi akademik S-2/S-3 dan sekurang-kurangnya golongan IV/b atau guru yang memiliki golongan serendah-rendahnya IV/c mengumpulkan dokumen. Dokumen yang telah disusun kemudian diserahkan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota atau dinas pendidikan provinsi untuk diteruskan ke LPTK penyelenggara sertifikasi guru sesuai wilayah rayon dengan surat pengantar resmi.
  2. LPTK penyelenggara sertifikasi guru melakukan verifikasi dokumen. Verifikasi dokumen dilakukan oleh 2 (dua) asesor yang relevan dan memiliki Nomor Induk Asesor (NIA) dengan mengacu pada rubrik verifikasi dikumen (Buku 3).
  3. Apabila dokumen yang dikumpulkan oleh peserta dinyatakan memenuhi persyaratan, maka kepada peserta diberikan sertifikat pendidik. Sebaliknya, apabila dokumen yang dikumpulkan tidak memenuhi persyaratan, maka peserta dikembalikan ke dinas pendidikan di wilayahnya (kabupaten/kota/provinsi) dan diberi kesempatan untuk mengikuti sertifikasi guru melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio.

65



Tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya. Guru yang dimaksud adalah guru PNS dan guru bukan PNS yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat penyelenggara pendidikan baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta.

BESARAN

Bagi guru PNS besaran tunjangan profesi adalah setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok per bulan. Bagi guru bukan PNS, tunjangan profesi diberikan setara dengan gaji pokok PNS per bulan sesuai dengan penetapan “in-passing” jabatan fungsional guru yang bersangkutan seperti yang diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 47 tahun 2007.

SIFAT
Tunjangan Profesi bersifat tetap selama guru yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai guru dengan memenuhi semua persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Penyaluran Tunjangan Profesi.

SUMBER DANA
Dana untuk pembayaran Tunjangan Profesi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Ditjen PMPTK Depdiknas yang dialokasikan pada dana dekonsentrasi dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Dinas Pendidikan Provinsi.

KRITERIA PENERIMA
Tunjangan profesi diberikan kepada guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru dan yang telah mendapat Surat Keputusan Penetapan Penerima Tunjangan Profesi dari Dirjen PMPTK Depdiknas.

PEMBAYARAN
Tunjangan Profesi diberikan kepada guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas terhitung
mulai awal tahun anggaran berikut setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus sertifikasi dan mendapatkan nomor registrasi (NRG) dari Depdiknas.

PENGHENTIAN DAN PEMBATALAN
Pemberian tunjangan profesi dapat dihentikan apabila guru dan guru diangkat dalam jabatan sebagai
pengawas penerima tunjangan profesi memenuhi salah satu atau beberapa keadaan sebagai berikut:

  1. meninggal dunia,
  2. mencapai batas usia pensiun (guru PNS dan bukan PNS dengan batas pensiun 60 tahun),
  3. tidak bertugas lagi sebagai guru atau pengawas,
  4. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan,
  5. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sama,
  6. dinyatakan bersalah karena tindak pidana oleh pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap,
  7. tidak memenuhi beban kerja yang disyaratkan.


Guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas yang telah ditetapkan sebagai penerima tunjangan profesi dapat dibatalkan dan wajib mengembalikan tunjangan profesi yang telah diterima kepada Negara apabila:
a. Sertifikat pendidik yang bersangkutan dinyatakan tidak sah atau batal,
b. Data yang diajukan sebagai persyaratan mendapat Tunjangan Profesi tidak sah.

PENERBITAN SK PENETAPAN PENERIMA TUNJANGAN PROFESI
Untuk penerbitan SK penetapan penerima tunjangan profesi, guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi dan memperoleh NRG dari Departemen Pendidikan Nasional, guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas harus mengumpulkan berkas data sebagai berikut:

  1. Foto kopi SK yang mencantumkan gaji terakhir, dapat berupa SK kenaikan pangkat terakhir, atau SK kenaikan gaji berkala terakhir, atau Leger Gaji bulan terakhir yang telah dilegalisir oleh kepala sekolah yang bersangkutan.
  2. Surat Keterangan beban kerja
  3. Surat Keterangan tugas tambahan bagi guru yang diberi tugas tambahan
  4. Foto kopi nomor rekening Bank/Pos yang masih aktif.
  5. Foto kopi SK sebagai guru tetap dari yayasan atau satuan pendidikan bagi guru bukan PNS yang bertugas disekolah swasta.
  6. Foto kopi SK sebagai guru bukan PNS dari pemerintah daerah/Dinas Pendidikan Provinsi/Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota bagi guru bukan PNS yang bertugas disekolah negeri.
  7. Foto kopi SK sebagai pengawas bagi guru yang diangkat dalam jabatan pengawas, dilegalisir oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.

MEKANISME PENGHENTIAN

  1. Dinas pendidikan kabupaten/kota menyampaikan laporan secara tertulis kepada Dirjen PMPTK Depdiknas up Direktorat Profesi Pendidik dengan tembusan kepada dinas pendidikan provinsi nama guru yang tidak lagi memenuhi kriteria sebagai penerima tunjangan profesi
  2. Ditjen PMPTK Depdiknas membuat surat penetapan penghentian pembayaran tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada dinas pendidikan provinsi dan dinas pendidikan kabupaten/kota.
  3. Dinas pendidikan provinsi melakukan penghentian pembayaran tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan pada bulan berikutnya.

MEKANISME PEMBATALAN

  1. Dinas pendidikan provinsi atau dinas pendidikan kabupaten/kota menyampaikan laporan secara tertulis kepada Dirjen PMPTK Depdiknas up Direktorat Profesi Pendidik tentang kecurangan yang dilakukan oleh guru penerima tunjangan profesi.
  2. Ditjen PMPTK Depdiknas membuat surat penetapan pembatalan pembayaran tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan.
  3. Dinas pendidikan provinsi melakukan penghentian pembayaran tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan pada bulan berikutnya.
  4. Guru yang bersangkutan wajib mengembalikan tunjangan profesi yang telah diterima ke kas negara melalui dinas pendidikan provinsi.

SANKSI

PP Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru, Pasal 63 ayat (5) menyatakan:
Guru yang terbukti memperoleh Kualifikasi Akademik dan/atau Sertifikat Pendidik dengan cara melawan hukum diberhentikan sebagai Guru dan wajib mengembalikan seluruh tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan penghargaan sebagai Guru yang pernah diterima.


Sabtu, 10 Oktober 2009

UU Sisdiknas

Sosialisasi UU Sisdiknas

Oleh Prof. Drs. H.Z. Mangitung

Salah satu tujuan etis Nasional negara RI yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah usaha mencerdaskan kehidupan bangsa; Pengertian mencerdaskan kehidupan bangsa ini sangat luas sehingga UUD 1945 mengamanatkan agar membuat UU organik sebagaimana disebutkan dalam pasal 31 ayat (3) yang mengatakan : Bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) yang pada saat ini dikenal dengan nama Undang - Undang (UU) RI No. 20 Tahun 2003 yang telah disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 8 Juli 2003 dan telah di undangkan pula dalam Lembaran Negara (LN) RI No. 78 Tahun 2003 pada tanggal tersebut. Untuk menggampangkan penulisan selanjutnya dapat disingkatkan UU RI No. 20 / 2003 tentang SISDIKNAS LN No. 78.

Di lihat dari sudut yuridis konstitusional maka, UU No. 20 / 2003 tersebut sudah berlaku secara sah diseluruh wilayah RI sejak tanggal di undangkannya sebagaimana disebutkan diatas; Sehingga Pemerintah menganggap bahwa setiap warga negara Indonesia sudah seharusnya mengetahui, hal mana dibenarkan secara hukum sebagai teori fiksi. Tindakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Pengajaran (DIKJAR) Provinsi Sulawesi Tengah yang mengadakan Lokakarya / Seminar dari tanggal 4 sampai 7 September 2003 yang lalu dengan tema "Pengkajian Pemutuan Pendidikan" seiring diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 / 2003 adalah sangat tepat, karena bagaimanapun juga dengan penyebarannya hanya melalui LN RI saja belum tentu setiap warga negara langsung dapat mengetahuinya; Bagaimana seharusnya UU SISDIKNAS No. 20 / 2003 tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya?

Menurut pendapat penulis setelah mempelajari dengan seksama, maka secara substansial tema tersebut mengandung 2 unsur yaitu pertama "Proses Sosialisasi" dan kedua " Proses Pengkajian Pemutuan Pendidikan ".

1. Proses sosialisasi dengan mengundang berbagai - bagai pihak oleh Pemerintahan Provinsi (Pemprov) didalam lingkungan unsur - unsur dinas DIKJAR dan beberapa instansi terkait menunjukkan aktivitas pengembangan sosialisasi itu sendiri. Menurut pendapat penulis ini berarti akan membias pada sekolah - sekolah diseluruh pelosok wilayah Sulawesi Tengah. Seperti diketahui bahwa pihak DIKJAR pada saat ini sedang memproses perumusan yang akan dijadikan rekomendasi dalam rangka penyebar luasan tersebut. Dalam UU SISDIKNAS No. 20 / 2003 pasal 16 ayat menyebutkan jalur, jenjang dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat. Dalam UU ini beberapa istilah perlu dijelaskan yaitu yang dimaksud jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Apa sebenarnya tujuan pendidikan itu? Adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap kreatif dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertsnggung jawab (UU SISDIKNAS pasal 3). Adapun jalur pendidikan antara lain pendidikan formal, nonformal dan informal yang saling melengkapi dan memperkaya (pasal 13); Yang dimaksudkan dengan jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan, antara lain pendidikan dasar dan sejenisnya, pendidikan menengah dan sejenisnya, dan pendidikan tunggal dan sejenisnya (hal ini dapat dibaca pada pasal 17, 18 dan 19). Pembicaraan kali ini penulis mengkhususkan jenjang pendidikan tingkat pendidikan dasar dan menengah. Secara khusus mengenai pendidikan tinggi akan dibicarakan tersendiri. Yang dimaksudkan jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan kepada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan; Sedangkan satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (perhatikan SISDIKNAS pasal 1 tentang ketentuan umum).

Yang perlu juga diketahui disamping tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan diatas juga perlu diketahui masalah dasar dan fungsi pendidikan. Yaitu pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 (pasal 2). Sekedar perbandingan bahwa negara manapun didunia ini selalu menghubungkan antara dasar negaranya dengan penyelenggaraan pendidikannya misalnya di Amerika Serikat dasar pendidikannya harus disebarkan sesuai dengan dasar Republik Amerika Serikat yang berintikan Pernyataan Kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776 atau yang dikenal Declaration Independence of The USA (Risalah Cathryn Seckler - Hudson). demikian pula negara - negara sosialis selalu mendasarkan pendidikanya berdasarkan ajaran Karl Marx (Michael H.Hart). Jadi sangatlah wajar apabila negara Republik Indonesia ini mendasarkan pendidikannya berdasarkan filsafat Pancasila, apalagi Pancasila itu sendiri sudah bukan lagi ideologi alternatif tetapi sudah bersifat ideologi imperatif, yang menjadi keharusan bagi setiap warga negara Indonesia untuk mentaatinya; Tidak berlebihan apabila penulis mengemukakan credo dari Frederick the great yang menyatakan "Wie der staat, so die schule (as the state, so the school)" (Adolph C. Mayer) juga dapat diartikan sebagaimana dasar negara sebegitu juga pendidikan dilaksanakan. Itulah sebabnya mengapa Pancasila harus menjadi dasar, fungsi dan tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh UU SISDIKNAS ini. Dalam rangka mensosialisasikan UU ini perlu menetapkan target waktu agar dapat dicapai hasil yang efektif dan efisien secara optimal sebagai program prioritas jangka pendek.

2.Pemutuan Pengkajian Pendidikan jelas hal ini memerlukan suatu proses jangka panjang bahkan menjadi program terus menerus karena terkait beberapa factor :

a. Masalah pendidik dan tenaga kependidikan.

b. Masalah pendanaan pendidikan.

c. Masalah pengawasan pendidikan.

Masalah pendidik dan tenaga kependidikan pasal 39 ayat (1) menyebutkan tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Ayat (2) menyebutkan pendidik merupakan tenaga professional yagn bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Tenaga kependidikan sebenarnya adalah tenaga administrasi dalam berbagai - bagai bidang di sebuah kantor sebagai tenaga penunjang dalam satuan pendidikan, bukanlah pendidik dalam arti sebagai guru yang mengajar di muka kelas; Sedangkan pendidik itu adalah seorang guru sebagai tenaga professional yang menyampaikan bahan ajar, membina anak didiknya dalam proses belajar mengajar khususnya dalam proses pembelajaran. Agar proses pembelajaran itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien, maka harus ada sarana dan prasarana antara lain gedung, alat - alat pendidikan, lingkungan yang serasi dan bersih untuk digunakan demi pertumbuhan, perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik, (UU SISDIKNAS pasal 45).

Masalah pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat yang harus menyediakan anggaran pendidikan (UU SISDIKNAS pasal 46) jo UUD 1945 pasal 31 ayat (4) , dimana sumber pendanaannya ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan berkelanjutan; Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat mengerahkan sumberdaya yang ada sesuai dengan perundang - undangan yang berlaku (UU SISDIKNAS pasal 47), sedang pengelolaannya berdasarkan kepada prinsip keadilan, efisiensi transparansi dan akuntabilitas publik (UU SISDIKNAS pasal 48).

Pengalokasian dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah pusat dialokasikan dalam APBN; Dana pendidikan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah disatu pihak, demikian pula dana pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dilain pihak untuk satuan pendidikan masing - masing diberikan dalam bentuk hibah, sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku (UU SISDIKNAS pasal 49). Perlu ditambahkan disini bahwa sesuai penjelasan pasal 49 itu, maka pemenuhan alokasi pendanaan yang dimaksud dapat dilakukan secara bertahap.

Seluruh pasal - pasal pendanaan pendidikan mulai dari tanggung jawabnya, sumbernya, pengelolaannya dan pengalokasiannya sebagaimana telah dijelaskan diatas, akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah (PP). Menurut pendapat penulis sejalan dengan UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah dan UU no. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka sebaiknya pengelolaan dana pendidikan itu didasarkan pada prinsip menejemen UU Otda tersebut yaitu seharusnya meninggalkan saja prinsip "function follows money" dan mengikuti prinsip "money follows function" sehingga mnejadikan "no mandating without funding" sebagai dasar menetapkan APBD baru.

Masalah pengawasan pendidikan harus dilakukan secara bersama - sama oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah masing - masing sebagai lembaga mandiri yang berperan dalam peningkatan mutu, pelayanan pendidikan dengan cara memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, melakukan pengawasan dan penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing - masing (UU SISDIKNAS pasal 66 jo pasal 56). Demikianlah tulisan singkat ini yang barangkali ada gunanya dalam ikut mensosialisasikan UU SISDIKNAS No. 20/2003. (Penulis adalah, Guru Besar Dalam Bidang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada Universitas Tadulako (Bidang Studi Jurusan Civics/Hukum)